Mengawamkan Agama
~ Muhammad Al-Fayyadl
Agama
perlu direbut dari orang-orang yang “merasa tahu” atas agama. Orang-orang yang
“merasa mengerti” atas keinginan Tuhan terhadap nasib umat-Nya.
Kian
hari kian gawat saja orang-orang yang merasa diri mereka “polisi” dalam
lalu-lintas hubungan umat beragama dengan Tuhannya. Bak “polisi”, mereka merasa
paling tahu tentang rambu-rambu yang harus dipatuhi umat beragama. Mereka
memperlakukan orang-orang beragama seperti anak kecil di taman kanak-kanak yang
belum tahu perbedaan warna hijau, merah, atau kuning di lampu perempatan jalan,
dan harus mereka “tuntun”, agar si anak itu sampai di “tujuan yang benar”. Gus
Mus mungkin benar, mereka lupa bahwa cara beragama mereka juga tak ubahnya cara
beragama anak-anak yang suka berkelahi berebut jajan temannya.
Tapi,
bisa jadi, cara beragama anak-anaklah yang paling mencerdaskan. Anak-anak
beragama dengan menyanyi, melafalkan nama-nama Tuhan dengan lagu yang merdu
(tak seperti teriakan takbir yang sering para “polisi” itu kumandangkan), dan
bertepuk tangan memanjatkan doa dan shalawat dengan riang dan gembira. Bagi
anak-anak, Tuhan bukan monster yang menakutkan, tapi sahabat akrab untuk
bermain. Bagi mereka, doa adalah nyanyian.
Tapi
apakah kita perlu menjadi anak-anak untuk menghayati agama dengan benar?
Terdapat suatu kondisi psikis yang ganjil pada para “polisi” itu: mereka merasa
bahwa diri mereka telah sampai pada tingkat kematangan orang dewasa dalam
beragama, sementara dari sudut penghayatan pada agama itu sendiri mereka masih
tergolong kanak-kanak. Sementara sebagian besar dari kita, yang tidak pernah
menyadari apakah kita telah cukup dewasa dalam beragama, merasa bahwa kita
masih saja terus kanak-kanak dalam beragama, dan karenanya kita selalu merasa
butuh pembimbing, tokoh panutan, figur pemimpin, dan seterusnya.
Mungkin
ini ironi dari dimensi ketidaksadaran yang selalu muncul dalam pengalaman
beragama. Tapi, poinnya bukan terletak di situ, melainkan pada fakta bahwa
semakin banyak orang yang merasa tahu tentang agama, semakin banyak di antara
orang-orang ini yang meyakini bahwa mereka benar-benar telah dewasa dalam
beragama.
Termakan
oleh ilusi ganda ini, mereka pun sampai pada kesimpulan bahwa penguasaan
pengetahuan yang banyak tentang agama berarti menjamin kematangan dalam
beragama. Dan kematangan ini membolehkan mereka sampai pada kesimpulan lebih
jauh lagi, bahwa mereka adalah “yang mahatahu” atas agama dan keberagamaan
orang lain, orang-orang yang mereka pandang lebih inferior dan lebih sedikit
wawasan keagamaannya.
Hal
ini yang membentuk proses kristalisasi agama ke dalam institusionalisasi
“orang-orang yang tahu”, yang disebut dalam status sosialnya sebagai para
ulama, tokoh, pemimpin, atau agamawan—sosok-sosok yang menampilkan suatu
koalisi integratif orang-orang yang memiliki penguasaan pengetahuan agama yang
tinggi di tengah masyarakat. Muncul suatu pengkotak-kotakan antara mereka yang
tokoh agamawan dan non-tokoh agamawan. Muncul pula kastanisasi antara mereka
yang alim dan mereka yang awam.
Dalam
proses institusionalisasi sosial, kualifikasi antara kedua kalangan ini kadang
mengeras menjadi suatu sikap ideologis yang sengaja dipertahankan untuk menjaga
jarak, agar yang awam tetap dalam keawamannya, sehingga yang alim dan paling
banyak menguasai pengetahuan agama tetap dalam posisi sosialnya yang
terpandang. Tidak banyak upaya untuk menjadikan agama sebagai wahana
pencerdasan bersama yang dilakukan dengan cara-cara yang egaliter, demi makin
memperluas kesetaraan pemahaman orang dalam beragama. Akibatnya, jangan heran
bila agama makin mengasingkan orang-orang yang dipandang awam, karena agama
diajarkan lebih sering dengan cara-cara instruktif yang menempatkan satu pihak
sebagai pemberi komando dan sejumlah besar orang sebagai massa yang mengikuti
komando tersebut tanpa pilihan.
Institusionalisasi
sosial di atas tidak bisa dilawan tentunya dengan cara yang frontal, karena
akan menimbulkan penajaman friksi dan segmentasi agama ke dalam
kelompok-kelompok yang bertikai secara membabi-buta—satu hal yang tidak jarang
terjadi, karena perlawanan atas kastanisasi agama yang diungkapkan dengan
naluri dan sentimen permusuhan semata. Institusionalisasi tersebut perlu
dilawan dengan membongkar prasangka-prasangka dalam interaksi agama yang
terlalu sering menempatkan orang awam sebagai pihak yang tersudutkan dalam
beragama karena minimnya pengetahuan yang mereka miliki, yang berakibat pada
pengkambinghitaman mereka sebagai akar kemerosotan agama.
Di
sini, agama mestinya perlu “diawamkan”, dalam arti: dilihat dari perspektif
orang awam, karena agama dari perspektif awamlah yang mencerminkan realitas
agama yang sebenarnya di lapangan, dan bukan agama dalam angan-angan para
agamawan semata. Dari perspektif awam, seorang agamawan mestinya banyak
belajar: ia akan belajar bahwa agama bukan sekumpulan perintah yang langsung
dapat diterapkan sempurna di muka bumi, melainkan hasil proses yang rumit
antara apa yang tertulis dan realitas lapangan yang bergerak maju-mundur dari
harapan ideal. Bahwa agama bukan suatu dinamo yang membuat masyarakat naik
secara otomatis dari satu fase ke fase lain, dari suatu fase “jahiliyah” ke
fase “kaffah”, tanpa melewati suatu proses kritik, penyempurnaan, dan studi
atas realitas sosial yang kompleks dan centang-perenang.
Dalam
arti ini, terdapat suatu proposisi yang berharga dari “teologi negatif”: aku
beriman, ketika aku tahu bahwa aku tidak tahu.
Kita
sepertinya perlu lebih banyak belajar dari orang-orang yang “tidak tahu” itu
untuk mengerti keberagamaan kita. Bukan untuk memusuhi, tapi berbagi secara terbuka,
jangan-jangan mereka lebih dewasa dan lebih mengerti kebutuhan apa yang perlu
dikembangkan agama di saat-saat kritis seperti ini.***
0 komentar: