Memandang Syiah Secara Kaffah
Oleh:
Imdad Fahmi Azizi*
Renungan tahun baru saya terasa menyesakkan
dada. Sejak membaca berita tentang pembakaran pesantren Syiah di dusun
Nangkernang desa Karang Gayam kecamatan Omben kabupaten Sampang, Madura (Surya,
31/12/2011), dada saya sesak. Betapa tidak, tragedi kemanusiaan tersebut
memaksa 400 warga pesantren asuhan kiai Tajul mengungsi ke GOR Lapangan Tenis
Indoor Kota Sampang dengan kondisi yang memprihatinkan.
Kejadian tersebut mendapat banyak
respons dari berbagai kalangan, mulai dari tokoh nasional, pemimpin ormas
keagamaan, tokoh masyarakat, hingga kiai dan akademisi. Ketepatan, saya waktu
itu sedang bertamu ke dalem KH M Dhovier Shah, pengasuh pondok pesantren
Darus Salam, Torjun, Sampang, Madura. Ketua NU kultural Jawa Timur itu sangat
menyayangkan kejadian tersebut. “Masyarakat perlu mendapatkan pencerahan,” katanya.
Menurut ayah dari Muhammad Aunul
Abid-Musytasyar NU cabang Kairo Mesir itu, apa yang dilakukan oknum terkait
sangat disayangkan, mengingat para korban notabene sesama pemeluk agama Islam
yang terusir secara terpaksa dari tanah kelahiran dan tempat perikehidupannya. Umat
Islam harus memandang Syiah secara kaffah (obyektif).
“Syiah
ada dua, Haqq (benar) dan Ghulath (sesat). Syiah Ghulath adalah
penyebar ajaran yang melampaui batas syariat. Mereka menganggap bahwa Sayyidina
Ali (salah seorang Ahlul Bait dan menantu Baginda Rasul adalah utusan Allah
yang sebenarnya; Jibril salah masuk kamar ketika menyampaikan wahyu, dan
terdapat Alquran versi mereka),” jelasnya, sembari menyeruput hidangan
pejamuan,
“sedang Syiah Haqq secara prinsip
sama dengan Ahlussunnah Wal Jamaah-mayoritas Umat Islam di dunia. Bahkan,
fikihnya sama dengan Syafiiyah-paradigma dan metodologi fikih yang digunakan
mayoritas Umat Islam di Indonesia. Mereka sangat menghormati kita, karena
mereka sangat mengenal Imam Syafii-pendiri mazhab Syafiiyah. Imam Syafii termasuk Ahlul Bait, keturunan Nabi. ”
Tragedi kemanusiaan tersebut masih
berlanjut, lebih semrawut. Surya tertanggal 2 Januari 2012 melaporkan,
sekelompok pria bercadar membumihanguskan seluruh bangunan pondok pesantren.
Polisi bahkan tak mampu menahan dan menindak tegas terhadap para pelaku
anarkis.
Tragedi
ini membuat otak saya serasa muak dan lambung saya seakan mual dengan
fenomena-fenomena yang terjadi sepanjang tahun 2011 di negeri ini, mulai
bencana alam (yang untunglah mulai reda), bencana moral (korupsi, kolusi, dan
nepotisme; yang semakin gila saja), dan tragedi kemanusiaan. Masih hangat kejadian
diskrimisasi yang dialami umat kristiani di Temanggung, Bogor, Depok, saat
mereka merayakan natal dalam kepungan warga dan blokade polisi dengan segala
kelengkapannya.
Sebagai umat beragama dan warga negara yang
baik, ada dua poin utama dalam catatan saya. Pertama, masyarakat terkait,
khususnya warga Nangkernang, termasuk masyarakat awam. Secara geografis, Omben
termasuk wilayah utara Madura. Masyarakat Madura Utara dikenal dengan
karakternya yang keras. “Berbeda dengan warga Madura Selatan, seperti Kota
Sampang, kota Pamekasan, Sumenep, yang di sana banyak berdiri institusi
pendidikan,” kata Rifki, mahasiswa IAI Nurul Jadid asal Pamekasan.
Kedua, disinyalir ada aktor
intelektual. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof Dr KH Said
Aqil Siraj terang-terangan menuding ada aktor intelektual dan grand design
di balik kasus tersebut. Perbedaan Sunni-Syiah dijadikan alat pengadu domba dan
pemecah belah umat Islam oleh tangan-tangan tak terlihat (Jawa Pos, 1/1).
“Kenapa
pihak pemerintah terkesan lamban? Di mana peran KOMNAS HAM? Kenapa tragedi
kemanusiaan lain-yang menguntungkan posisi Indonesia di percaturan politik internasional-segera
ditindak, sedangkan kasus Syiah-Sunni selalu dibiarkan?? Apakah hal ini ada hubungannya
dengan konstalasi politik global, di mana negara-negara Barat (terutama Amerika
Serikat dan Israel) sedang berkonfrontasi dengan Iran-negeri maju penganut
Syiah?!,” kata KH Dhovier kepada penulis.
Ketiga,
tokoh masyarakat, terutama para pimpinan pesantren, hendaknya memberikan
penjelasan secara obyektif. Jangan memperuncing masalah. “Kiai sebagai pemimpin
umat hendaknya mencerahkan masyarakat, menjadi pemersatu umat,” kata penasehat pengurus
pusat organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) tersebut.
*Pemerhati Sosial.
0 komentar: