Identitas Sastra dan Kampung Para Plagiat


Oleh : W. Haryanto
“Kelaparan  adalah  burung  gagak”
WS. Rendra

BASIS pertarungan ideologis memang telah berakhir.  Setelah  era  Suharto  (1968-1998), tidak anyak yang tersisa, juga tak ada kesimpulan apapun. Mungkin, basis  “Mani-kebu” cuma bisa menikmati  dan  telah menga-caukan  pelbagai  persepsi  kita  tentang  sejarah sastra) terhadap apa yang ereka namakan “Ge-rakan Kiri”. Bahkan setelah pesta  kemenangan politik  di akhir  tahun 60an, Manikebu  Manifest Kebudayaan) gagal menampilkan perwatakan dan wajah Sastra Indonesia, kecuali sebagai topeng politik yang tamak. Sastra kita terjebak, bukan pada konfrontasi  ideologis,  bukan  pada  pertanyaan-pertanyaan kritis  yang meletakkan  kebudayaan sebagai  sesuatu  yang  terus  “berproses”.

Maka, apapun bentuknya, apapun mediumnya, baik buku, jurnal, majalah, surat kabar, juga inter-net—identitas sastra kita tercuri, dan hanya me-nyisakan penulis pragmatis yang hanya meman-faatkan  “dunia  kata-kata”  layaknya  produksi massal, dan bukannya medium psikologis yang menggiring setiap konflik estetika menjadi proses kebudayaan yang tepat nilai. Di sisi lain, kita juga mulai digerogoti penyakit-penyakit berupa “buda-ya menjiplak” dan pencurian karya intelektual. Se-perti yang muncul di media  terkemuka Kompas beberapa waktu lalu. Maka, kita seakan kembali pada anggapan sinis Bob Geldof (musisi rock ditahun 80-an), bahwa  Indonesia adalah gudang-nya para “pembajak”.
Inilah makna kemenangan yang tak kita sadari di bawah awan reformasi. Sastra dengan berdalih atas nama eksperimen, eksplorasi, juga inovasi—hanya kata-kata yang bisa diperjualbelikan, tanpa harus memperhitungkan tanggung jawab moral. Benar pula, anggapan Albert Camus, bahwa sas-tra tidak lebih baik dari segenggam roti.
Ironisnya, ketika persoalan-persoalan kebuda-yaan kita tak terjawab secara proporsional. Ketika ratusan warga Lapindo (Sidoarjo) termarginalkan secara  normatif.  Sementara,  sebagian  besar sastrawan kita justru memarginalkan diri dari pro-ses kebudayaan, dan hanya menampilkan wajah kemiskinan semata. Bukan sekedar miskin intelek-tual,  tapi  juga miskin mental dan menghalalkan segala cara agar bisa makan, sekalipun dengan mencuri karya orang  lain. Seperti kutipan sajak WS Rendra di awal tulisan, bahwa kelaparan fisik ternyata sangat menakutkan.
Identitas sastra, adalah kesinambungan nilai-nilai masa lalu menuju hibriditas masa kini, terkan-dung pula benturan antara yang radikal dan kon-servatif,  antara  yang  stabil  dengan  reaksioner. Maka, tokoh mitos “Durga Umayi” (Betari Durga) tiba-tiba saja muncul dan terlibat dalam pergolakan sosio-politik Indonesia paruh tahun 40-50an (Novel  Durga Umayi,  karya  Y.B Mangunwijaya). Sungguh,  representasi  yang  kompleks,  karena Mangunwijaya  tidak  cuma menampilkan  sosok Durga Umayi secara faktual, namun setiap lapis perwatakan Durga Umayi terlahir dari gaya penceritaan seorang dalang (suluk). Masa lalu Jawa bertemu  dengan masa  kini  Indonesia—sebuah dialog, sintesa, dan pemberdayaan makna yang konstruktif bagi generasi “CyberPunk” yang hampir tak mengenali produk-produk tradisi selain hanya mengartikan  “tradisi” sebagai sesuatu yang primitif sifatnya. Uniknya, Mangunwijaya sengaja mencuri Durga Umayi dari perwatakan dan aktualisasi antagonis dalam perwayangan Jawa. Mirip strategi simbolis generasi “Black Metal” yang mengaktualisasikan  esensi  Lucifer  atau  Vampir—dan mengangkatnya sebagai ekspresi zaman, sekaligus  perimbangan  dialogis  terhadap  budaya Kristen.
Identitas Sastra, pada akhirnya menampatkan setiap fenomena sebagai dialektika. Setiap nilai, benturan  sosial  dan  sejarah,  juga  fragmentasi bahasa  yang diciptakan  “kembali”. Namun,  generasi penulis kita sekarang, ternyata sudah berhenti membaca. Bahkan,  lewat  produk-produk mereka, bahasa hampir tak mungkin dimaksimalkan ke dalam komunikasi sosial.
Dan jawaban Sastra terhadap sejarah, adalah bagaimana  nilai-nilai  yang  tersurat  dan  tersirat mampu menggugah kita untuk mengenali setiap ketimpangan dan ketidakadilan yang berlangsung massif. Maka, identitas sastra mencirikan beberapa aspek, (i) bahasa yang dilahirkan “kembali” sebagai logika, yang memungkinkan setiap aspek yang tak terbaca (sensor normatif dari kekuasaan) bisa  terlacak dan dikomunikasikan kembali, sebagai sejarah kebudayaan. Seperti yang bisa kita baca dari kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarmo. (ii) pemberdayaan infrastruktur semua tradisi penciptaan yang “pernah” dan masih hidup, dan meletakkannya pada ranah dialogis.  Seperti  juga,  upaya  sastrawan Gothe mengambil foklor-foklor wilayah Eropa Utara untuk proses tekstualnya. (iii) Relevansi antara kebutuhan proporsional masyarakat terhadap nilai nilai kesastraan dengan cita  rasa penulis  terhadap kebebasan bereksperimen. Hingga apapun hasil eksperimentasi tersebut bisa meningkatkan selera masyarakat  terhadap  sastra.
Dari proporsi ketiganya, Sastra Indonesia akanmencapai  perwatakan struktur  yang khas. Baik yang terbaca lewat materi-materi faktualnya, maupun bentuk pengucapannya yang bersifat hibri ditas antara masa lalu dan masa kini.
Memang, kita masih jauh dari kegelisahan dan proses menuju identitas sastra. Karena penulis penulis kita  terbius keinginan meniru-niru teknik menulis Sastrawan Nobel, dan tanpa terlebih dahulu memahami sejarah di balik teks-teks mereka. Juga, media-media kita kelewat dibanjiri “kata-kata kosong” puisi atau cerpen. Dan terlihat jelas, bahwa  dunia  sastra  kita hanya  dipenuhi oleh  para pemalas yang takut miskin.
Dan, krisis dan degradasi sastra kita sesungguhnya adalah miskinnya  “kandungan  ideologi” dan kemampuan penulis untuk membaca zaman. Karena teks sastra bukanlah keterampilan menggunakan bahasa sebagai medium ekspresi, tetapi juga daya cerap intelektual penulis terhadap pergolakan  zaman. Dan  fragmentasi  bahasa  yang diproduksi  (dalam  sastra)  identik  dengan  sikap penulis  terhadap sejarah. Hingga, sastra bukan sebatas persoalan individual, tetapi menjadi persoalan kebudayaan secara  luas.
W. Haryanto,  penyair,  eseis,  penulis naskah drama dan sutradara di UKM Teater Mata Angin Unair, dan penyunting buku.

0 komentar:

BAGI YANG INGIN MENYUMBANGKAN TULISAN, BAIK BERUPA BERITA, OPINI, TUTORIAL, PUISI, CERPEN ATAUPUN YANG LAINNYA, BISA LANGSUNG DI KIRIMKAN KE E-MAIL | misteriuspos@gmail.com | ATAU BISA LANGSUNG BERGABUNG DENGAN KAMI DI GRUP FACEBOOK misterius pos