Ibad, Sang Hamba
Sebuah dusun terpencil, dengan Kepala Dusun yang semena-mena. Di zaman modern ini masyarakat dusun itu masih saja bersikap kuno, percaya saja dengan hukum darah dibayar darah dan apalah lagi sebutannya. Benar mereka makmur, tapi jangankan mendengar adzan berkumandang, Tuhan saja mereka masih menyembah patung, lengkap dengan sesaji dan segala macam isinya.
Sungguh dusun yang sangat
terpencil, mungkin mereka terlalu lugu atau terlalu takut menentang, entahlah,
tapi mereka terima saja dengan kenyataan bahwa Kepala Dusunlah yang paling
berkuasa, tak ada yang boleh menolak keninginannya, apalagi sampai menentang
dan memberontak. Sungguh dusun yang tak ubahnya hanyalah dihunikan para
pecundang.
“Miqdat, perintahkan
kepada seluruh penduduk dusun untuk membinasakan setiap bayi laki-laki.” Ucap
Kepala Dusun suatu hari.
“kenapa
Kepala Dusun? Apa yang terjadi?” tanya Miqdat sang kaki tangan.
Ah, Kepala Dusun, Kau pasti
terlalu banyak berkhayal, sampai-sampai Kau memerintahkan rakyatmu untuk membunuh
setiap anak laki-laki. Kau pikir kau siapa? Bersikap macam Raja Fir’aun saja.
©©©
Aya
berjalan mengendap-endap, seolah-olah takut ada yang mengetahui apa yang ia
kerjakan. Azam suaminya, mengikuti di belakangnya. Malam ini mereka masuk ke
dalam hutan, hutan yang sekiranya dapat melindungi mereka dari kejaran kepala
dusun. Memangnya ada yang lebih pelosok dari dusun terpencil yang jauh dari
hiruk pikuk kota? Entahlah.
Setelah
masuk ke hutan Azam mencari tempat berteduh, akan tetapi sejauh mata memandang
hanya pohon-pohon tinggi menjulang yang ada. Terpaksa Azam meninggalkan Aya di
sebuah gua, tentu saja bersama anak pertama mereka, untuk apa mereka pergi dari
kehidupan dusun malam-malam begini kalau bukan anak laki-laki mereka. Ibad.
“Sebaiknya
kau tinggal disini sampai ia menjadi pemuda tanggung”Ujar Azam pada istrinya.
“Lalu
sekarang apa kau hendak meninggalkan kami di sini?”Tanya aya kepada suaminya.
“Tidak,
tidak sekarang. Saat fajar tiba aku akan kembali ke dusun untuk bekerja. Saat
malam beranjak aku akan kembali kesini membawa makanan untuk kalian.”Jawab Azam
kemudian.
Ayapun
menghela nafas, lega.
©©©
9
tahun berlalu, Ibad tumbuh menjadi anak yang cerdas. Malam ini Ibad sudah
menunggu Ayahnya di mulut gua. Sendirian. Ibunya sudah lama meninggal, saat ia
berumur 7 tahun. Ibad menunggu Ayahnya saat malam beranjak, selalu sendiri
selama dua tahun terakhir. Untuk mengisi keheningan Ibad sering kali berfikir
atas jawaban yang ia simpan sedari kecil.
Kenapa ia hidup di dalam gua? Itu adalah
pertanyaan pertama. Padahal Ayahnya selalu pergi ke dusun saat fajar terbit,
kemungkinan-kemungkinan itu muncul membuatnya enggan memikirkan jawabannya.
Pertanyaan kedua berkaitan dengan hidupnya saat iunya masih ada; ibunya selalu
berdoa kepada patung yang di pahat Ayahnya sendiri. Saat ia bertanya pada
ibunya, ibunya hanya menjawab itu adalah
tuhan. jika kau ingin meminta sesuatu,
mintalah kepadanya. Ibad tak habis piker, bagaimana mungkin sebuah patung
yang tak bergerak dapat menjadi tuhan yang mengabulkan keinginan?
“Pasti
Tuhan yang sesungguhnya Hebat.”Gumam Ibad pada dirinya sendiri. Tak lama
kemudian Ayahnya datang. Ibad memeluk Ayahnya, kemudian menyiapkan makanan yang
dibawakan Ayahnya dari dusun
“Ayah, boleh aku
bertanya?”ujar Ibad memecah keheningan. Ayahnya hanya mengangguk.
“Kapan aku boleh ikut
Ayah ke dusun?”
Ayah Ibad langsung
menghentikan makannya. Bernafas sejenak, kemudian melanjutkannya kembali. Ibad
hanya diam, tak berani menuntut jawaban. Sampai acara makan selesai, keduanya
hanya terdiam. Ibad segera merapikan piring bekas makan, kemudian kembali ke
tempat Ayahnya.
“Sepertinya malam ini kau
harus tahu yang sebenarnya”
Ibad hanya terdiam,
menunggu Ayahnya melanjutkan.
“Kami, Ayah dan ibumu,
adalah orang yang taat aturan, tapi suatu hari, saat ibu melahirkan dirimu,
kami kaget, karena yang dilahirkan adalah bayi laki-laki, sedangkan Kepla Dusun
mengharuskan setiap anak laki-laki dibunuh, disebabkan oleh mimpinya.”
“Siapa Kepala Dusun itu?
Apakah ia yang paling berkuasa?”Tanya Ibad.
Ayahnya mengangguk. “Dia
yang paling berkuasa di dusun, tak ada yang bisa menentangnya, kami memujanya
bagaikan tuhan kedua.”
©©©
Esok
paginya Ibad melepas kepergian Ayahnya, tapi ia masih memikirkah cerita Ayahnya
tadi malam. “Tuhan kedua?”gumam Ibad, “Yang satu untuk meminta, yang satu untuk
mengatur.” Ibad berhenti sejenak. “kalau memang berkuasa, kenapa tidak
mengabulkan dan mengatur sekaligus?” Ibad menatap langit, dari sela-sela
dedaunan pohon yang menjulang tinggi. CaHaya matahari menerpa wajahnya. Ia menikmatinya
sambil memejamkan mata.
“Matahari…
bukankah matahari selalu terbit dari timur dan terbenam di barat? Pasti semua
itu ada yang mengaturnya.” Ibad terdiam, kemudian tersenyum, “aku mengerti,
Tuhan yang sesungguhnya pasti Yang Mengatur semua ini, Menciptakan, dan tentu
saja Mengabulkan setiap keinginan. Tapi, siapa Dia?” Ibad kembali merenung.
Semakin
lama ia berfikir, tak pernah terbesit di benaknya wajah Sang Tuhan, hingga
akhirnya Ibad jenuh juga, ”Ah, yang jelas Tuhan itu bukan Si Kepala Dusun.”
©©©
Matahari
telah tenggelam beberapa jam yang lalu, tapi Ayah Ibad baru saja tiba, Ibad
telah menantinya dari tadi, tapi kali ini Ibad tak member pelukan seperti
biasa. Ia gelisah. Sepertinya Ayahnya tahu gelagatnya yang seperti itu. Maka
sehabis makan Ayahnya tidak langsung menyuruh Ibad membereskan piring-piring.
“Ibad
kenapa hari ini kau bertingkah aneh?” Tanya Ayah Ibad tanpa basa-basi.
Ibad
kaget. ”Maaf Ayah, tapi… er… Ayah belum menjawab pertanyaan kemarin, kapan aku
boleh ikut Ayah ke dusun?”
“
Oh, itu, kau boleh ke dusun saat umurmu 19 tahun.” Ucap Ayah Ibad sambil
tertawa.
Ibad
menepuk dahinya. Kemudian membereskan piring-piring bekas makan. “Ayah, boleh
aku bertanya satu lagi?” ujar Ibad dari arah dalam gua.
“Hei,
semakin besar, kau semakin banyak bertanya, Ibad.” Sahut Ayah Ibad sambil
terkekeh. Ibad yang baru kembali dari kedalaman gua memasang wajah cembeut.
“Tentu
saja boleh, nak. Apa yang ingin kau tanyakan?”
Ibad
terdiam sejenak, “Apakah Ayah juga meminta kepada itu?” Ibad menunjuk kearah
patung pahatan Ayahnya.
“Tentu
saja. Ada apa? Kau bertanya seprti orang tak bertuhan saja.” Jawab Ayah Ibad.
“Bagaimana
mungkin Ayah bisa menyembah patung buatan Ayah sendiri? Ia tak bisa bicara,
melihat, mendengar, apalagi menolong. Sepanjang hari ini…”
“Cukup!
Kembali ke tempat tidurmu, ini sudah malam.” Potong Ayah Ibad dengan nada
sedikit tinggi.
“Aku
mengerti, Ayah.” Ibad menurut saja. Ia beranjak menuju tempat tidurnya. Tapi
tentu saja hatinya ingin protes.
“Ibad,
Ayah tahu kau anak yang cerdas, tapi dalam urusan tuhan kau tak pernah bisa
menentang, nyatanya Ayah baik-baik saja selama menyembah patung itu. Akalmu tak
akan pernah sampai memikirkannya, nak.”
Ibad
hanya diam, ia malah sudah berbaring siap untuk tidur, padahal sebenarnya ia
ingin protes, tapi itu hanya memperumit keadaan. Mana mungkin Ayah baik-baik saja? Buktinya sampai sekarang dan 10 tahun
lagi kita masih harus tinggal di gua. Aku tak mau menyembah benda mati itu.
Gumam Ibad dalam hati. Aku hanya mau
menyembah Tuhan Yang Menciptakan hewan-hewan, bumi dan langit, serta Yang
Menggerakkan matahari. Lanjut Ibad kemudian terlelap karena suasana hening
yang berlanjut setelah ucapan Ayahnya. Hanya ada suara jangkrik dari arah luar
gua.
©©©
Pernah
Ibad bermimpi saat umurnya masih menginjak pertengehan 17 tahun, ia berada di
sebuah bangunan berkubah, di dalamnya ada seorang leleki paruh baya bersurban
dan bergamis, sepertinya sedang focus menjalankan ritual. Ibad hanya memandangi
saat lelaki paruh baya itu mengangkat tangannya. Berdoa.
“Ya
Allah, lindungilah pemuda itu. Semoga ia dapat meluruskan kesesatan rakyat di
sekitarnya. Dan jodohkanlah ia dengan putriku. Amin.” Lelaki paruh baya itu
mengakhiri doanya.
“Maaf.”
Ibad memulai pembicaraan, sengaja menunggu lelaki paruh baya itu selesai
berdoa. “boleh saya bertanya?”
Lelaki
pruh baya itu mengangguk.
“Siapa
Allah itu?”
“Dia
adalah Tuhan Yang Maha Esa, Dialah Yang Mampu menghidupkan dan mematikan,
menciptakan, serta menggerakkan matahari dari timur ke barat, Dialah Tuhan Yang
Maha Kuasa.”
Sampai
disitu terpotong. Ibad terjaga. Fajar telah terbit. Ayahnya baru saja
berangkat. “Allah Tuhan Yang Esa.” Gumam Ibad. “Aku mengerti sekarang, siapa
yang menggerakkan matahari, menciptakan semuanya, yang berkuasa, dan yang
mengabulkan permintaan, Dialah Allah. Aku tahu sekarang, Tuhanku adalah Allah.”
Ujar Ibad dengan wajah berseri-seri.
Saat
umur Ibad mencapai 19 tahun ia mulai menampakkan kebiasaan berIbadahnya di
depan Ayahnya. Jika dua tahun terakhir Ibad masih sembunyi-sembunyi, tahun ini
Ibad yakin, ia tak mungkin salah, ia sangat yakin. Untuk apa menyembunyikan kebenaran? Pikirnya saat ia mulai
memutuskan untuk tidak lagi bermain petak umpet dalam berIbadah.
Tahun
ini Ibad tak hanya boleh masuk ke dusun sendirian, tapi ia dan Ayahnya tak lagi
tinggal di dalam gua, mereka tinggal di dusun, rumah mereka sebelum Ibad
dilahirkan. Ibad senang, tapi kesenangan itu tak bertahan lama, melihat
masyarakat dusun yang tak jauh berbeda bengan Ayahnya, menyembah patung buatan
Ayahnya. Apalgi kepala dusunnya, semakin sok saja.
©©©
“Ayah,
ada sesuatu yang ingin aku katakan, apa hari ini kau sibuk?” Tanya Ibad suatu
hari.
“Tidak.
Bicaralah, Nak. Ayah akan mendengarkan sambil memahat petung-patung ini.”
“Ini
tentang… eh, aku hanya ingin mengenalkan Ayah pada Dzat, Dzat Yang menciptakan
langit dan bumi, mengerakkan matahari dan segala tata surya, serta mengabulkan
doa-doa, Dialah Allah. Dzat Yang Patut Disembah, Yang Maha Berkuasa.”
Ayah
Ibad hanya terdiam menyimak, tapi wajahnya memerah, terlihat menahan amarah.
“Aku
hanya ingin mengajak Ayah, mengajak kepada sesuatu yang benar. Untuk menyembah
Allah, Tuhan yang sesungguhnya, Tuhan yang nyata, Yang patut disembah, Yang
menghidupkan dan mematikan.” Lanjut Ibad setelah melihat tak ada tanda-tanda
Ayahnya akan berkomentar.
“Lalu
apa yang harus dilakukan?” sahut Ayah Ibad dengan datar.
“Berhentilah
memahat patung-patung itu, Ayah…”
“Tidak
bisa! Kau tahu? Ayah mendapatkan pekerjaan ini dangan susah payah, sekarang kau
menyuruh Ayah melapaskan begitu saja?! Tidak bisa!”
“Tapi
Ayah, selama ini Ayah berada dalam kesesatan. Lagi pula apa yangdapat dilakukan
patung itu? Mereka hanya diam, tidak bicara, mendengar, melihat bernafas, mana
mungkin bisa menolong?”
“Cukup!
Kau boleh tak percaya tuhanku, tapi kau tak berhak menghina! Terserah kau saja,
sampai kapanpun aku tak akan menyambah Tuhanmu!!”
©©©
Harapan
Ibad mengajak Ayahnya untuk berpaling dari kesesatan pupus sudah, tak hanya
sekali ia membujuk Ayahnya. Berkali-kali. Berkali-kali ia membujuk, berkali-kali
pula Ayahnya menolak. Ibad memang tidak putus asa, bahkan saat Ayahnya
mengancam akan mengusir. Akan tetapi Ayahnya menganggap semua itu adalah bentuk
perwujudan emosi Ibad yang sudah matang untuk segera dinikahkan. Alhasil Ibad
pun dinikahkan dengan seorang gadis dusun. Maka suatu malam Ibad berkata pada
istrinya.
“Sarah,
maaf, aku menikahimu karena baktiku pada orang tua, aku harap kau mau percaya
dan mengikuti ajaranku. Jika kau tidak bersedia, sebaiknya kita berpisah saja.”
“Aku
percaya padamu, dari pertma kau menginjakkan kaki di dusun ini.”
“Maksudmu?”
“Kaulah
satu-satunya pemuda di dusun ini. Dulu kepala dusun memerintahkan untuk
membunuh setiap bayi laki-laki, tentu saja sekarang bayi itu sudah menjadi
seorang pemuda. Pemuda yang akan menentang kepala dusun. Kaulah satu-satunya
pemuda yang selamat, kaulah yang akan mengalahkannya ,Ibad.”
“Apa
kau juga tahu tentang ajaranku?”
“Tentu
saja. Dulu, setiap malam Ayahku berdoaagar pemuda itu menjadi suamiku agar bisa
mengenalkanku kepada Tuhan yang sesungguhnya.”
“Seperti
apa Ayahmu itu? Benarkah ia sudah meninggal dua tahun yang lalu?”
Sarah
mengangguk, kemudian mengambil selembar foto.
Ibad
menatap foto tersebut. Aku mengerti
sekarang orang tua inilah yang mengenalkanku pada Allah, jadi setiap malam
sejak dua tahun yang lalu, dia sellu mendoakan ku. Terimakasih, Ayah.
“Kalau
begitu,” Ibad memecah kahaningan. “doakan aku, besok aku akan meluruskan
semuanya, akan mengajak mereka kepada kebaikan, mengenalkan mereka kepada Tuhan
yang sesungguhnya, kepada Allah. Doakan semoga aku besok baik-baik saja.”
©©©
“Kenapa
kalian menyembahnya?” Tanya Ibad kepada pemuda-pemuda yang baru saja selesai
menjalankan ritual.
Pemuda-pemuda
itu menatap Ibad dengan bingung. “Kami melakukan yang diajarkan orang tua kami,
apa ada yang salah?” kata salah seorang pemuda.
“Sangat
banyak, orang tua kalian dan tentu saja kalian, sedang berada dalam kesesatan
yang nyata.” Jawab Ibad.
“Hei!
Apa maksudmu? Jangan sembarangan memvonis orang.”
“Aku
tidak sembarangan, memangnya apa yang bisa dilakukan yang kalian sembah? Mereka
hanya diam, tidak bicara, bahkan bergerak, bagaimana bisa mereka menolong?”
“Hei!
jangan menghina tuhan kami! Memangnyaa kenapa kalau tuhan kami tidak bergerak?
Kau mau apa? Ia bukan tidak bergerak, ia hanya tidak mau menampakkannya
dihadapan kami!”
“Aku
hanya ingin mengenalkan kalian pada Tuhan yang sesungguhnya, Dia tidak hanya
berbicara, tapi Dia Maha segalanya.”
“Sayangnya
kami tidak tertarik dengan penawaranmu, Ibad. Kami permisi. Kami sudah muak
dengan omonganmu.”
Ibad
hanya menatap kepergian mereka. “Sayangnya aku tidak akan menyerah sekalipun
kalian tidak tertarik dangan penawaranku.” Ibad terdiam sejenak. “Baiklah, jika
tidak bisa mengunakan cara halus, akan ku coba sedikit kasar.”
©©©
Esok
harinya Ibad kembali ke tempat ritual mereka. Tanpa basa-basi Ibad masuk ke
dalam ruangan itu, kemudian menghampiri salah satu dari sekian banya patung.
“Kenapa tidak aku makan sesajinya?” Tanya Ibad kepada patung di hadapannya.
Patung
itu hanya diam. Beberapa orang tertolah kea rah Ibad.
“Kenapa
kau tidak menjawabnya? Apa kau tidak kasihan kepada mereka? Mereka susah payah
menyiapkannya untukmu! Kenapa kau tidak memakannya?!”
Patung
itu tetap terdiam. Lebih banyak lagi orang yang menatap kea rah Ibad.
“Jawab!!
Apa kau tidak mendengarku?!” Ibad meninggikan nada suaranya sehingga sedikit
berteriak.
Seluruh
isi ruangan pun menatap kearah Ibad. Tanpa banyak bicara, Ibad mengambil kapak
yang sedari tadi disembunyikannya di kaos kakinya, dan menghancurkan patung
yang ada di hadapannya. Seketika seluruh isi ruangan panik. Berusaha
menghentikan Ibad. Tapi Ibad semakin menjadi-jadi, ia seperti orang kalap.
“KENAPA
KALIAN MASIH MEMBELA MEREKA???!!!” Ucap Ibad sambil terus menghancurkan
patung-patung itu. Setelah hampir separuh patung-patung di ruangan itu tak
berbentuk lagi, Ibad menghentikan yang ia kerjakan. Kemudian ia menaruh kapak itu di leher patung
yang paling besar.
Tak
berselang lama, Kepala Dusun datang. Ibad hanya menatap dengan datar tanpa ada
ekspresi apa pun. Kepala Dusun langsung menghampirinya.
“Apa
yang kau lakukan kepada Tuhan-tuhan kami?”
“Aku
tak melakukan apa-apa, coba tanyakan saja pada patung yang paling besar itu,
bukankah dia berkalungkan kapak?” Jawab Ibad sambil menunjuk ke arah patung
yang paling besar dan mencolok.
“Kau
bodoh? Bagaimana mungkin bertanya pada patung yang tak bisa berbicara?”
“Sudah
tahu tidak bisa bicara, kenapa kalian masih menyembahnya? Kalau sudah begini,
siapa yang sebenarnya bodoh?”
Kepala
Dusun terbungkam. Mukanya merah padam menahan malu. “Azam! Sebaiknya kau ajari
anakmu memahat patung untuk menebus gani rugi atas semua kerugian ini.” Ucap
Kepal DUsun mengalihkan pembicaraan.
“Dia
bukan anakku.”
Dan
kali ini Ibad mengekspresikan kekagetannya.
©©©
“Apa
maksudmu menghancurkan patung-patung itu?” Tanya Kepala Dusun kepada Ibad malam
harinya.
“Aku
tak tega melihat rakyatmu menderita karena menyembah patung-patung itu.” Ibad
berhanti sejenak. “aku hanya ingin mereka tertimpa azab Allah, Tuhanku.”
“Atas
dasar apa kau menyuruh kami meninggalkan tuhan nenek moyang kami?”
“Karena
Tuhanku Maha Kuasa, ia…”
“Aku
yang paling berkuasa di sini.” Potong Kepala Dusun.
“Tuhanku
Mampu menghidupkan dan mematikan manusia.”
“Aku
pun bisa melakukannya. Aku bisa memutuskan seorang tahanan terbebas, maka ia
memperoleh kehidupan baru. Begitupun sebaliknya, aku bisa saja memutuskan
seorang tahanan dihukum mati.”
“Sungguh
cara yang keji.” Komentar Ibad. “Tuhanku mampu menggerakkan matahari dari timur
ke barat. Karena Dia Maha Kuasa. Jika kau memang berkuasa, bisakah kau
menngerakkan matahari dari barat ke timur?”
Seketika
Kepala Dusun terdiam. Sejak itu Kepala dusun mencatat dalam pikirannya bahwa
Ibad dan keturunannya adalah musuh. Musuh yang paling berbaHaya. Orang yang tak
diinginkan nomor satu.
©©©
“Berkemaslah,
malam ini kita pergi dari dusun ini.” Ucap Ibad kepada istrinya setelah pulang
dari kediaman Kepala Dusun.
“Kenapa?”
Tanya Sarah bingung.
“Sepertinya
Kepala dusun tak akan membiarkan kita dan anak-anak kita hidup.”
“Kalau
begitu aku akan mempersiapkan bekal kita untuk beberapa hari.”
Malam
hari tiba, tapi mereka masih belum pergi meninggalkan dusun. Mereka menunggu
tengah malam. Karena saat itu kemungkinan kecil para warga dusun terjaga.
Sepertinya mala mini Allah melindungi mereka, suasana malam benar-benar sunyi.
Seperti sengaja dilelapkan, Suasana yang tepat untuk merajut mimpi.
Masuk
tengah malam, Ibad dan Sarah keluar dari rumah melalui pintu belakang. Susana
benar-benar sepi, seperti kota mati. Mereka masuk ke dalam hutan hanya
bermodalkan lentera untuk menerangi jalan dan bekal yang cukup untuk mereka
berdua salama tiga hari.
“Kemana
kita akan pergi?” Tanya Sarah bingung
“Entahlah.”
Jawab Ibad. “aku pikir sebaiknya kita berjalan kearah barat.”
Sarah
menurut saja. Ia tak tahu banyak tentang daerah di sekitar dusun. Tiba-tiba
saja Ibad berhenti berjalan.
“Ada
apa?” Tanya Sarah.
“Sebaiknya
malam ini kita bermalam di gua itu.” Ibad menunjuk ke arah gua. Gua tempatnya
dulu tinggal. Tempatnya merenung setiap hari. Tempatnya mengenal Allah pertama
kali.
©©©
Behari-hari
sudah Ibad dan Sarah menempuh perjalanan, dan baru hari ini mereka menemukan
sebuah dusun. Dusun Heundae. Ibad senang bukan kepalang, akhirnya ia dan
istrinya dapat pergi dari dusun sesat meski itu tanah kelahirannya.
Ibad
baru tahu bahwa ternyata dusun itu tak jauh beda dengan dusunnya yang dulu,
tapi orang-orang dusunnya mau menerima ajaran baru yang dibawa Ibad. Hanya saja
Kepala Dusunnya yang bermasalah. Suka merebut perempuan cantik. Kebetulan
sekali istrinya termasuk perempuan cantik. Kecantikannya sudah memikat sejak
mereka pertama kali menginjakkan kaki di dusun ini. Hingga suatu hari Kepala
Dusun dan para bodyguardnya datang ke
rumahnya.
“Kudengar
saat kau pertama kali mauk dusun ini, kau beserta seorang perempuan?” Tanya
Kepala Dusun Heundae tanpa basa-basi.
Ibad
mengangguk.
“Siapa
dia? Dan dimana dia sekarang?”
“Dia
adalah adikku, sekarang sedang berada di kamarnya.”
“Bawa
dia ke rumahku sekarang juga!” Ucap Kepala Dusun Heundae kepada bodyguardnya.
Sarah
pun digiring menuju rumah Kepala Dusun Heundae.
©©©
“Kemarilah
Sarah, mari kita berpesta. Pesta penyambutanmu.” Ucap Kepala Dusun Heundae
kepada Sarah. Ini sudah keberapa kalinya ia merayu Sarah. Tapi yang diajak
bicara hanya diam. Tak berekspresi sebagaimana Ibad saat menghadapi Kepala
Dusun mereka yang dulu.
“Maaf
tapi agamaku tak mengizinkan dua orang yang bukan muhrim saling bersentuhan.”
Ucap Sarah datar.
“Memangnya
agama apa yang kau anut?” Tanya Kepala Dusun Heundae sedikit sebal.
“Aku
menganut agama Allah, agama yang benar dari dulu, sekarang, dan tentu esok
hari.”
“Terserah
kau sajalah.” Kepala Dusun Heundae benar-benar bosan. Ia pun meninggalkan Sarah
sendirian di ruang besar yang disebut Kepala Dusun Heundae kamar untuk Sarah.
©©©
“Sebagai
kepala dusun seharusnya kau memahami keinginan rakyatmu. Bukan malah membuat
mereka sengsara karena peraturan yang kau buat.” Ucap seorang lelaki paruh baya
kepada Kepala Dusun Heundae.
“Siapa
kau?” Tanya Kepala Dusun Heundae kebingungan.
“Kau
tak akan pernah mengenalku, jadi kau tak perlu tahu siapa aku.” Jawab lelaki
itu. “Aku hanya ingin memberitahukan padamu bahwa perempuan yang kau culik
telah bersuami. Dan Allah tak akan mengizinkanmu menyentuhnya. Dia adalah Hamba
Allah.”
“Apa
maksudmu?” Kepala Dusun Heundae tetap tidak mengerti.
“Mereka
tak pantas kau bodohi dengan peraturan yang hanya melihat nafsumu semata.
Mereka adalah orang yang datang dengan hati lurus untuk meluruskan paham kalian
yang sesat. Kalau kau tidak percaya. Coba lihat mereka malam ini, aku yakin
mereka tak tidur karena ulahmu.”
Kepala
Dusun Heundae terjaga. Masih tengah malam. Mimpi
yang aneh, aku tak pernah bermimpi seperti ini sebelumnya. Tiba-tiba Kepala
Dusun Heundae ingin membuktikan mimpinya barusan, ia pun berjalan menujunkamar
Sarah. Sampai disana Kepala Dusun Heundae terkaget. Ternyata benar. Sarah belum
tidur, Kepala Dusun Heundae mengurungkan niatnya untuk masuk kekamar Sarah, ia
hanya menunggu di depan kamar Sarah sambil mendengarkan apa yang kira-kira
dilakukan Sarah malam-malam begini.
“Ya
Allah lindungilah aku dan suamiku dari segala kejahatan, peliharalah aku agar
kesucian ini tetap untuk suamiku. Bukakanlah hati Kepala Dusun Heundae agar ia
mau mendengar ajaran yang kami bawa. Serta ampunilah dosa-dosa rakyat dusun
ini. Amiiin”
Entah
kenapa tiba-tiba Kepala Dusun Heundae ingin menangis. Dan akhirnya ia pun
menangis.
©©©
Esok
harinya Sarah dipanggil untuk menghadap Kepala Dusun Heundae. Sarah datang
dengan wajah kumal. Habis menangis semalaman. “Aku tahu kau menangis tadi
malam.”
Sarah
hanya diam tanpa ekspresi.
“Maafkan
aku menculikmu dari suamimu. Aku sadar aku salah, jadi berbahagialah. Pagi ini
aku akan mengembalikanmu kepada suamimu.”
“Benarkah?”
inilah pertama kalinya Sarah bersuara.
Kepala
Dusun Heundae mengangguk. “Sebagai permintaan maafku, aku akan memberi satu
pembantu perempuanku. Silahkan pilih, dia yang akan mengantarmu pulang pagi
ini.
Sarah
pun kembali kepada suaminya bersama Haya, pembantu Kepala Dusun Heundae yang
paling muda, masih remaja. Suaminya menyambut mereka dengan haru. Tak
henti-hentinya mereka mengucap syukur kepada Allah.
©©©
Bertahun-tahun sudah Ibad
dan keluarganya tinggal di dusun heundae. Mereka menetap disana. Kepala
dusunnya tak lagi bersifat seperti dulu. Masyarakatnya pun bersahabat.
Bertahun-tahun Ibad meninggalkan dusun kelahirannya, bertahun-tahun Ibad tak
mendengar kabar tentang Ayahnya, bertahun-tahun Ibad menjalin rumah tangga,
bertahun-tahun pula rumah tangganya tak sekalipun dikaruniai buah hati.
Sarah sebagai istri tentu
saja yang paling sedih karena dianggap mandul dan tak dapat memberikan
keturunan, apalagi setiap kali melihat suaminya muram mengharapkan adanya
seorang anak diantara mereka.
“Ibad, sebaiknya kau
nikahi Haya.” Ujar Sarah suatu hari.
“Apa maksudmu? Kau
menyuruhku untuk poligami? Tidak! Aku tidak mau.” Tolak Ibad.
“Tapi kau butuh
keturunan, aku dan tentu kau sudah semakin tua, aku tak mungkin melahirkan
seorang anak, aku sudah terlalu tua untuk mengandung. Dan kau, kau butuh
penerus untuk meneruskan ajaranmu.”
“Tapi apakah menikahi
Haya adalah jalan satu-satunya?” Ibad masih berusaha menolak.
“Mungkin ada cara lain,
tapi inilah yang paling mudah.” Sarah terdiam. “kalau kau memang menganggapku
istri, nikahi Haya.”
Ibad mengangguk pelan
sekali, jika tak diperhatikan baik-baik, mungkin tidak kentara.
©©©
Penikahan pun
dilangsungkan. Selang beberapa bulan ternyata Haya dikabarkan hamil. Semua ikut
bergembira tak terkecuali Kepala Dusun Heundae, Ibad sudah berkali-kali
mengucapkan kepada setiap warga yang lewat ‘aku akan menjadi seorang ayah’.
Sarah dan Haya hanya tersenyum melihat kelakuan suami mereka.
Sembilan bulan berlalu,
akhirnya Haya melahirkan seorang anak laki-laki bernama Iklil. Semua ditumbuhi
perasaan senang. Tak terkecuali Sarah. Tapi kesenangan itu tak bertahan lama.
Semakin hari, saat melihat wajah Iklil Sarah merasa sadih karena ia sadar
kelemahannya ada pada anak.
“Tolong pindahkan mereka
ke tempat yang tidak kuketahui.” Ucap Sarah pada Ibad suatu hari.
“Tapi kenapa?” Ibad
tersentak kaget.
“kalau kau memang
menganggapku istri, pindahkan mereka. Jika tidak, kita berpisah.”
Ibad menyandarkan
kepalanya kesndaran kursi. Sarah, dia selalu saja membuat Ibad tak punya
pilihan.
©©©
“Kenapa kau meninggalkan
kami disini, Ibad? Apa ku tidak kasihan kepada Iklil? Dia masih terlalu kecil
untuk hidup di hutan.”
“Maaf Haya, tapi aku tak
punya pilihan.” Ibad mencium wajah Iklil, kemudian mengelus wajah Haya. “Aku janji
suatu saat aku akan menjemputmu disini, aku janji Haya. Aku mohon jangan
menangis dihadapan anak kita. Tunggu aku. Aku pasti akan menjemputmu.”
©©©
Wildy Isnaini
(terinspirasi dari kisah Nabi Ibrahim)
Wildy Tabassun
0 komentar: