Bahasa Perlawanan


Oleh:
Muhammad Al-Fayyadl
Sondang Hutagalung menyiram dirinya dengan bensin dan membakar diri di depan Istana hari itu, seakan hendak membisikkan bahwa perlawanan itu masih ada. Ia masih ada, bergejolak dari bawah sana, dan meminta untuk didengar.

Yang mengejutkan pada mulanya, membuat kita terhenyak, lalu diam-diam meremukkan hati dan perasaan kita adalah caranya memilih bahasa perlawanan itu. Dia memilih jalan mati dengan membiarkan api melalap tubuhnya sampai hangus, sebelum berhari-hari kemudian, dalam sekarat yang keperihan dan erangannya tak terukurkan, dia melepas satu-satunya miliknya dalam hidup: nyawa. Suatu kematian yang dipilihnya dengan sadar, dengan risiko tersiksa penderitaan ragawi yang tak tertahankan, namun barangkali dengan sedikit harap dan bahagia, bahwa ia berkorban untuk hal yang tak sia-sia. Bahwa ia berkorban untuk mengirim isyarat: perlawanan itu masih ada.
Kita yang di sini, akan memperlakukan kejadian itu sebagai tontonan: kaget, merasa heran, sedikit tak habis pikir, lalu mengambil kesimpulan bahwa tindakan itu bodoh karena hanya menyia-nyiakan diri, sementara belum tentu aspirasinya didengar oleh penguasa. Yang lain, dengan keacuhan khas seorang intelek dan sikap setengah-dingin seorang komentator politik, akan mengatakan: demokrasi belum butuh martir, dan kematian itu seperti petir di siang bolong, hanya membuang-buang nyawa demi sesuatu yang belum pasti.
Tontonan itu akan segera lewat, digantikan berita-berita besar, dan hilang ditelan waktu. Dan demokrasi terus berjalan, melupakan namanya, seperti roda-roda mesin yang dingin.
Masalah terbesar dari “demokrasi panggung” yang dipraktikkan sehari-hari saat ini di negeri ini, barangkali adalah ini: kita memperlakukan suatu kejadian seperti tontonan yang menimbulkan sensasi sebentar, lalu hilang digusur tontonan berikutnya. Lebih buruk lagi, demokrasi menyulap fenomena menjadi data: kita mencatat hari ini ada sekian orang mati, menghitungnya dan memasukkannya sebagai formula dalam sebuah statistik tentang “indeks ketidakpuasan publik”.
Seorang anak muda yang memutuskan membakar diri di depan lambang kekuasaan tertinggi di Indonesia tak sedang memainkan diri sebagai potret orang-orang yang “tidak puas” dengan kinerja pemerintah. Kata “ketidakpuasan” terlalu menyederhanakan arti pengorbanannya. Ia bukan sedang “tidak puas” atas keadaan saat ini, lalu mencari “kepuasan” dan berharap ia akan “dipuaskan”, jika keadaan berlangsung lebih baik. Opini-opini tentang “kepuasan/ketidakpuasan” itu mengecilkan kematian ini, sekali lagi, sebagai satu register dari sekian banyak data dan menenggelamkan sosoknya dalam anonimitas “publik”.
Caranya memilih tindakan itu tidak mengesankan bahwa ia sekadar tidak puas atas keadaan saat ini. Ia juga tidak mengesankan bahwa ia sedang putus asa, seperti Kaepi dan Yati Suryati, sepasang suami-istri yang mati menggantung diri karena tak mampu menanggung beban hidup di tengah kemiskinan yang mereka alami. Bahwa ia kecewa dengan situasi negeri saat ini, itu tersirat dari caranya mempertunjukkan tindakannya di hadapan khalayak ramai di depan Istana. Tetapi caranya memilih membakar diri daripada langsung membunuh diri, yang otomatis akan membawa kematiannya, mengirimkan suatu pesan yang lebih dalam: bahwa ia hendak melawan, dan ia tahu bahwa hanya dengan membakar dirinya, ia telah melakukan perlawanan paling jauh yang bisa ia lakukan untuk memprotes keadaan, karena perlawanan itu melumat satu-satunya yang paling berharga dari dirinya: hidupnya. Ia melawan hingga teriakan terakhir yang bisa ia teriakkan; hingga kata-kata terakhir yang bisa ia ucapkan; dan hingga napas terakhir yang bisa ia hembuskan. Terakhir dan satu-satunya, ia ingin mensublimasi penderitaan rakyat Indonesia di bawah rezim neoliberal SBY-Boediono ini ke dalam dirinya. Mensublimasi kemarahan, kebencian, dan kemuakan rakyat terhadap kepalsuan dan kemunafikan rezim ke dalam dirinya, sehingga lebur sudah semuanya dalam api, bersatu dalam api. Tubuhnya yang masih kuat, dan masa depannya yang masih panjang, dikorbankannya ke dalam api yang panas, untuk menunjukkan bahwa semestinya begitulah seorang melawan: melawan ketidakadilan dengan berani mengorbankan satu-satunya yang berharga dalam hidupnya. Inilah militansi paling jauh dari seorang yang melakukan perlawanan atas rezim, yang dilakukan tanpa toleransi dan permakluman sedikit pun atas dirinya. Ia keluar dari zona kenyamanan yang masih dinikmati bahkan oleh para aktivis pun, untuk menghadapi batas terjauh dari kehidupan itu sendiri: rasa sekarat, rasa tersiksa, dan rasa sakit antara hidup dan mati, sesuatu yang tak mungkin tergambar karena pedih dan perihnya. Dalam hal ini, ia telah memenuhi takdir sejatinya sebagai seorang aktivis tulen.
Caranya memilih bahasa perlawanan itu, di sisi lain, bagi kita yang hidup saat ini, khususnya bagi kalangan kiri dan para aktivis pro-emansipasi, seperti menyindir kebekuan-kebekuan kita yang hidup, yang masih ragu untuk menerjunkan diri dalam gelombang perlawanan dan memilih nyaman menonton penderitaan rakyat dari ruang televisi. Ia juga seperti mengirimkan sindiran kecil, khususnya bagi para filsuf politik, pemikir politik, atau siapa pun yang berpikir keras tentang “politik” hari ini, yang masih berpikir bahwa perlawanan harus dilakukan semetodis mungkin, sefilosofis mungkin, sesistematis mungkin, atau sestrategis mungkin, agar langkah perlawanan itu berderap secara pasti. Kematian itu menyindir para pemikir, dan seakan ingin berbisik: bahwa perlawanan adalah suatu “jalan singkat” (shortcut) tanpa matematika, suatu tindakan yang nyaris non-strategis dan non-metodis, suatu pemenuhan gelegak non-rasional yang kekuatan dan intensitasnya hanya bisa dicapai dalam suatu titik sunyi napas terakhir antara hidup dan mati.
Sementara kita masih mencari-cari bahasa perlawanan yang pas, memodifikasi teori demi teori tentang perlawanan, dan mencoba bernegosiasi dengan status quo, Sondang telah sampai “di sana”: memenuhi takdirnya untuk melawan.
Dan sudah selayaknya kita iri dan malu padanya..

Tulisan ini disalin dari catatan FB  Muhammad Al-Fayyadl
mahasiswa Sorbone, Prancis

0 komentar:

BAGI YANG INGIN MENYUMBANGKAN TULISAN, BAIK BERUPA BERITA, OPINI, TUTORIAL, PUISI, CERPEN ATAUPUN YANG LAINNYA, BISA LANGSUNG DI KIRIMKAN KE E-MAIL | misteriuspos@gmail.com | ATAU BISA LANGSUNG BERGABUNG DENGAN KAMI DI GRUP FACEBOOK misterius pos