Pesantren Soko Guru Kebudayaan dan Elan Vital Bangsa
Tulisan Hari Setiawan di kolom
ini, beberapa pekan lalu (Jawa Pos, 11/9), menarik ditanggapi. Saudara Hari
mengulas pesantren dari sudut pandang sosial-ekologi. Menurutnya, pesantren
memiliki modal strategis dalam menyusun agenda penyelamatan lingkungan (alam).
Tulisannya patut diapresiasi. Sebab, agama memang mengajarkan pemeluknya
keseimbangan, terutama dalam menjalin hubungan dengan Tuhan (hablun min
Allah) dan alam (hablun min an-nas). Dalam kesempatan ini, saya akan
menanggapinya dari sudut pandang sosial-budaya.
Saya
terinspirasi oleh wayang. Wayang merupakan salah satu budaya adiluhung yang
sangat diapresiasi oleh masyarakat Indonesia. Dunia wayang menggambarkan
nilai-nilai kebudayaan yang patut diaplikasikan sebagai sikap dan perilaku kita
sehari-hari. Falsafahnya mengajarkan berbagai nilai tentang kebajikan,
keadilan, kejujuran, dan nilai-nilai universal lainnya.
Menurut
M.Smithes, seorang antropolog Indonesia, wayang (puppet) merupakan sebuah
analogi dari realitas, kekuasaan (politik) dan kebudayaan. Bahkan, dunia
wayang juga terkait dengan psikologi, moral, hingga hakikat kehidupan.
Itu sebabnya saban hari Minggu kita bisa menikmati suguhan “wayang politik”
oleh Ki Sujewo Tejo di Jawa Pos. Maka tidak mengherankan jika UNESCO, salah
satu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurusi tentang pendidikan
dan kebudayaan, mengapresiasi wayang menjadi warisan budaya dunia yang harus
dipelihara dan diperhatikan bersama.
Ada tiga falsafah yang membuat wayang terus eksis hingga kini. Pertama, hamat.
Hamat merupakan karakter dari wayang yang bersifat terbuka dan menerima adanya
pengaruh-baik yang berasal dari dalam maupun berasal dari luar dunia wayang itu
sendiri. Kedua, hamong. Hamong adalah kemampuan untuk memfilter elemen
yang masuk agar cocok dengan nilai-nilai wayang dan sesuai dengan perkembangan
zaman (akulturasi budaya), namun sama sekali tidak dapat merubah akan esensi
dalam diri wayang tersebut. Ketiga, hamemangkat. Hamemangkat
adalah sebuah pencapaian (progress value) yang menjadi nilai dan
paradigma baru yang diperoleh melalui proses panjang.
Pesantren
sebagai tempat belajar para santri-yang berasal dari bahasa sansekerta sastri
berarti seseorang yang ahli kitab suci-dapat menggunakan filosofi wayang (the
power of puppet) tersebut.
Menghadapi
globalisasi, pesantren harus terbuka terhadap perkembangan zaman (hamat),
terutama yang terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Modernisasi manajemen pesantren-baik pesantren salaf (tradisional)
maupun pesantren khalaf (kontemporer)-sebagaimana yang dijelaskan oleh
Faisal Ismail (2004), adalah sebuah keniscayaan. Nurcholis Majid (1992)
menyatakan bahwa masyarakat pesantren selayaknya meniru kebudayaan bangsa lain yang
lebih maju, seperti budaya disiplin (yang dimiliki masyarakat Barat) dan etos
kerja yang tinggi (Jepang).
Toh
walaupun demikian, pesantren harus senantiasa hamong, yakni melakukan
filterisasi budaya. Pesantren tetap menjaga dan melestarikan kearifan-kearifan
lokal yang menjadi warisan budayanya, seperti sarungan, sampiran, dan
sebagainya, yang menjadi simbolnya. Pesantren juga diharap selalu menyaring
hal-hal baru yang bertentangan dengan tradisi kepesantrenan (keislaman),
seperti kebebasan busana (fashion) dan hal-hal yang berbau pornoaksi
lainnya (western style). Sebab, hal demikian tidak sesuai dengan tradisi
pesantren dan budaya ketimuran (nusantara). Pesantren-meminjam istilah Cak
Nur-adalah warisan tua kebudayaan Nusantara (indogenous culture).
Pesantren mengajarkan para
santri nilai-nilai kejujuran, kebaikan, sopan santun, dan keadilan (berbuat
adil, tidak dzalim). KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam buku Menggerakkan
Tradisi (2010) menyebut pesantren sebagai subkultur. Pesantren
memiliki cara hidup (life pattern), pandangan hidup (mores) dan
tata nilai berupa literatur universal (kitab kuning) yang diikuti (internal
authority) warganya, serta hirarki kekuasaan intern tersendiri (kiai) yang
ditaati sepenuhnya (istilah Geertz: cultural broker).
Pesantren
berada dalam kedudukan kultural yang kuat di masyarakat. Hal ini dapat dilihat
dari kemampuan pesantren untuk melakukan transformasi kultural dalam sikap
hidup masyarakat sekitarnya, tanpa ia sendiri harus mengorbankan identitas
dirinya. Tidak Arab-Sentris. Sehingga pesantren mengambil peran besar sebagai
penentu dalam proses penyaringan unsur-unsur kebudayaan yang datang dari luar.
“Pesantren adalah soko guru kebudayaan Indonesia,” kata KH D Zawawi Imron,
ketika berkunjung ke Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo (15/5).
Budaya pesantren menurut Kiai
Zawawi mengajarkan Islam rahmatal lil alamin (rahmat bagi alam).
Pesantren mengajarkan kasih sayang, budaya lemah lembut, tidak
menjelek-jelekkan kelompok tertentu, dan budaya menebar kebaikan kepada sesama.
Para santri tidak diajari berkata kasar, kotor, jorok, dan hal-hal yang
maksiat; pornoisme, pacaran, dan sebagainya-yang telah menjadi gaya sebagian
besar generasi muda. “Karena Nabi Muhammad diutus sebagai penebar rahmat,
penyempurna akhlak,” katanya.
Pesantren, dalam kacamata Pakde
Zawawi, merupakan elan vital bangsa, semangat hidup yang penuh dengan kebaikan
dan energitas. Pesantren, menurut maha guru budayawan Indonesia yang mendapat
julukan Si Clurit Emas tersebut, memiliki ajaran-ajaran yang universal.
Nilai-nilai yang dikembangkannya sangat sesuai dengan fitrah kemanusiaan.
Pesantren mengajarkan hubungan yang manis antara manusia-Tuhan dan
manusia-alam. Apa yang dididik dalam pesantren adalah ciri kepribadian
sejati bangsa, sebagaimana yang pernah dilontarkan Ki Hajar Dewantara, Bapak
Pendidikan Indonesia.
Jika pesantren berhasil
mendayagunakan peran kebudayaannya dengan baik dan mampu berkompetensi secara
maksimal dalam pendidikan (ilmu pengetahuan), sebagai penyaring (filter)
kebudayaan, pesantren akan melahirkan pola baru (hamemangkat) yang
modern. Era modern menegaskan bahwa pesantren harus selalu bersifat dinamis,
terbuka pada perubahan, dan mampu melakukan transformasi sosial sehingga
menjadi penggerak perubahan yang diinginkan; masyarakat madani.
Cita-cita mulia ini dapat
dilihat dari kemampuan pesantren untuk melakukan transformasi kultural dengan
sikap hidup masyarakat, tanpa ia sendiri harus mengorbankan identitas dirinya.
Kedudukan kultural ini memungkinkan pesantren mengambil peran sebagai penentu
dalam proses penyaringan unsur-unsur kebudayaan yang datang dari luar golongan
santri sehingga membuatnya mesti dinamis. Inilah yang dikatakan KH A Mustofa
Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus bahwa pesantren merupakan institusi yang
tradisional dan modern sekaligus.
Pola
kehidupan pesantren yang unik ini membuat pesantren mampu bertahan
selama berabad-abad untuk mempergunakan nilai-nilai kehidupannya sendiri. Hal
ini dapat dilihat dari adagium pesantren yang sering didengung-dengungkan; al-muhafadzah
ala al-qadim as-shalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah, menjaga
tradisi lama yang baik dan melestarikan tradisi baru yang lebih baik, sehingga
tercipta way of thinking (cara pandang) atau paradigma berpikir yang
progresif dan visioner.
0 komentar: